Popular Post

daun jatuh

Posted by : Unknown Sabtu, 13 April 2013

“Hai, Ra! Ngelamun nich!” sapa Icha menghampiriku di serambi depan An-Najwa, asrama Program Bahasa SMP Al- Ikhlas .
“Eh, kamu!” jawabku santai. “Duduk, Cha!”

Kami tenggelam dalam sunyi dan pekatnya malam, bersama dengan taburan bintang yang siap menyambut keluh resah hati melalui bahasanya yang tercurahkan. Suasana malam yang kaya dengan bintang adalah yang paling aku sukai. Aku seorang wanita periang, yang susah meluapkan sakit hati diriku sendiri pada orang lain sekalipun orang terdekatku. Tapi, aku berani meluapkan emosiku saat teman sekawanku tersakiti. Akulah Setia Vira Anugrah. Teman-teman biasa memanggilku dengan Vira. Aku adalah santri Pesantren Al- Ikhlas, Surabaya. Kurang lebih 2 tahun aku tinggal di sana untuk menuntut ilmu. Ku merasakan manfaat yang sangat banyak di bumi pesantren itu. Baik ilmu yang ku dapat juga sikap-sikap kepribadian yang mengajarkan kehidupan nanti apabila turun ke masyarakat. Sekalipun aku jauh dari orang tua, hal itu tidak membuatku sedih karena aku akan kembali nanti juga untuk orang tuaku dengan menjadi orang yang berguna.
“Kadang cinta itu datang tanpa kita tahu kapan cinta itu singgah.” Aku berkata membuka pembicaraan sambil menatap lurus pandanganku pada langit. “Aku ingin menjadi bintang itu, Cha! Mereka bisa mencapai hal yang tinggi. Prestasi yang diinginkanya telah tergapai jauh di sana, dan juga mereka bisa meraih cinta harapannya, sehingga malam ini bisa bersama menghadapi hidup yang penuh warna.”
“Caelah…! Sahabatku sedang jatuh cinta nich! Ma sapa, ayo? Eits…nggak takut sakit hati lagi?” sahut Icha dengan nada bercanda. Icha memang terkadang tidak langsung serius kalau diajak ngobrol soal perasaan. Aku sudah lama berteman dengannya. Dia sedikit kocak, tapi kalau sudah serius jangan ditanya apa-apa, dijamin nggak nyambung dech.
“Aku sadar, Cha! Jika cinta kita utamakan, maka umur kebersamaan itu tak akan pernah bertahan lama, namun jika kasih sayang yang terpadu, Insyaallah hubungan itu abadi.” Icha terdiam mendengar ucapanku, kelihatannya dia sudah mulai terbawa keseriusanku.
“Ra! Kamu sahabatku. Apapun yang kamu rasakan, aku juga bisa merasakannya. Jika kau sakit, aku juga sakit.” Icha sempat menghela napas panjang sebelum melanjutkan perkatannya. “Jangan gegabah dalam menyimpulkan perasaanmu. Cukup sekali kamu rasakan sakit hati. Sekalipun dulu sebenarnya kamu tidak mencintai mantan cowokmu itu, tapi aku yakin kamu berusaha menyanginya dengan tulus, bukan! Aku kenal kamu, Ra! Kau selalu memberikan cintamu dengan tulus. Tapi, karena ketulusanmu yang salah kamu pernah buta dan akhirnya ketulusan cintamu kamu berikan pada orang yang salah. Aku tak ingin kamu teteskan air matamu untuk kedua kalinya karena cinta. ” sambung Icha panjang lebar.
Ini baru Icha yang serius. Batinku.
“Apakah di sisi ini kamu melarangku memiliki perasaan cinta lagi?” tanyaku padanya. Aku sedikit kaget mendengar perkataannya tadi.
“Nggak, Ra! Aku malah senang kamu bisa bangkit kembali. Hanya saja aku berharap kamu memilih orang yang tepat untuk menerima cintamu. Pria dari hati nuranimu.” Sanggah Icha lembut.
***
Aku menerawang ingatanku setelah Icha berbicara. Aku teringat ucapanku beberapa bulan lalu, ku pernah menceritakan pria idamanku pada Icha. Sosok pria yang tampan paras dan hatinya, seorang  pria alim, pandai, berakhlaq, dan sopan. Setiap guruku pasti membicarakan kebaikan-kebaikannya di depanku. Seakan-akan semua guru menyayanginya. Namun, anehnya aku menaruh kebencian yang sangat pada pria itu saat aku mengenalinya, sekalipun penilaianku pada pria itu sempurna. Ada apa denganku?
***
Senin, 16 Mei 2007
“Vira, bisa ikut Ibu ke ruang BKU sekolah?” ajak Ibu Lestari memasuki ruang OSIS Putri. Beliau Pembina OSIS Putri SMP-ku. Aku sedang menyelesaikan surat-surat keperluan kepanitiaan kegiatan OSIS untuk menyambut hari kebangkitan nasional. Ibu Lestari memang sengaja mengajakku karena aku menjabat sebagai ketua OSIS. Kami berjalan bersama menuju ruang BKU Sekolah. Dalam perjalanan Bu Lestari menanyakan berbagai keperluan untuk peringaatan HARKITNAS. Untung saja semuanya sudah beres, hanya tinggal beberapa surat yang perlu di foto copy saja. Kalau sampai saat itu belum beres, bisa-bisa tamat riwayatku.
Ruang BKU terletak agak ke dalam dari ruang Kantor Sekolah Pusat. Kami harus melewati ruang TU yang biasanya ramai dengan para petugas TU yang bekerja. Namun, hari itu ruang TU sepi, hanya ada 2 orang lelaki di sana. Seorang adalah siswa yang memakai seragam rapi lengkap dan yang satu aku kenal beliau adalah Bpk. Rifa’ sebagai Direktur Program Bahasa Sekolah. Aku juga sangat akrab dengan beliau karena kebetulan aku adalah anak Program Bahasa. Aku tidak mengenali siswa tadi, jadinya aku cuek saja padanya.
“Vira, dengan siapa kamu ke sini ?” tanya Bpk. Rifa’ padaku.
“Dengan Bu Lestari, Pak! Ada apa, Pak?” jawabku sopan.
“Oh, nggak. Ini lho saya mau ngenalkan kamu dengan ketua OSIS Putra. Namanya Ari.” Kata Pak Rifa’. Aku tidak mengerti maksud beliau kenapa beliau mengenalkan aku pada siswa itu yang katanya adalah Ketua OSIS putra. Padahal setahuku di sekolah kami dilarang berhubungan antara putra dan putri, ruang sekolah dan kelasnya saja beda. Akupun tak menggubris perkataan Pak Rifa’. Tapi yang tak mengenakkan adalah ekspresi kita berdua maksudku Aku dan cowok yang bernama Ari itu. Aku teringat seseorang. Jadi, ini cowok yang selalu diceritakan guru-guru. Baik apanya! Sombong kale! Batinku. Kami tak saling melemparkan senyuman, bahkan sapa. Yang ada aku ingin meremas muka sombongnya itu. Tapi untung aku tahu sikon, kalau nggak! Kalau nggak? Bisa nggak yach aku mengalahkannya? Kan aku cewek! Udah-ah nggak usah dipikirin!.
“ Hai! Ngelamunin apa sich!!!” Bu lestari menepuk bahuku mengejutkanku.
“ Eh, nggak kok, Bu. Sudah selesai, Bu?” tanyaku dengan gugup.
“ Sudah. Yuk, kita kembali!” Bu Lestari mengajakku pergi. Sebelum keluar dari ruang TU, aku masih sempat bertengkar dalam pandangan dengan Si Ari itu. Nyebelin Banget, sich! Batinku benar-benar marah.
***
          Sejak perkama kali pertemuanku dengan Ari, kami jadi sering bertemu dalam acara-acara kepanitiaan OSIS atau kegiatan organisasi lain, dan parahnya kami sama-sama menjadi anggota dalam organisasi yang sama. Hal itu mengakibatkan kami tidak dapat meminimanilisir untuk bertemu. Soalnya aku nggak semangat kalau bertemu dia. Maklumlah, dia musuhku, kan!
Aku semakin tidak mengerti dengan perasaanku. Semakin sering bertemu, aku seperti kehilangan jika tidak bertemu dengannya. Tidak jarang aku mencarinya. Ditambah teman-teman OSIS yang menggojloki kami berdua. Pernah sich aku berpikir, “Apa aku mencintainya?” tanyaku pada diriku. Namun, aku bersih keras membantah pertanyaanku sendiri. Karena memang aku nggak boleh menaruh hati padanya. Rasa benciku terlalu dalam. Tapi, apakah dengan begini aku tidak menyakiti diriku sendiri? Dustakah aku pada diriku? Berbagai macam pertanyaan dan perasaan bersalah berkecamuk dalam diriku. Semua ini menyiksaku.
Jika ku tahu ini adalah buah dari pertemuan, aku lebih memilih tidak pernah ada pertemuan. Jika pertemuan berakhir pada perpisahan. Hidupku bukan hanya menerima perpisahan yang menyakitkan, namun penyiksaan batin dan perasaanku yang menyayat.
Tak ada satupun yang tahu tentang keresahanku. Aku tak pernah menceritakan pada orang lain. Aku hanya menyimpan dalam memory hatiku yang terdalam. Ini adalah cinta! Cintaku yang paling tulus siap kuberi. Kasih sayang dari do’a-do’aku. Aku tak berani menceritakan semua ini, sekalipun pada orang terdekatku, karena antara aku dan dia adalah beda. Aku nggak pernah mengenalnya, apalagi berbicara dengannya. Tapi, entahlah! Kenapa cinta itu bisa datang untukku? Kuhanya tahu dia saja, nggak lebih. Memang hal ini lucu, yach mungkin dia adalah cintaku yang akan kumiliki dalam hayalanku. Suatu ketulusan cinta yang hanya ku tahu kesuciannya. Aku mencoba untuk menikmati cinta ini sendiri. Membuat dia tersenyum adalah impianku. Lagi-lagi impian yang mustahil aku capai. Namun, dengan ketabahan dan keikhlasan yang senantiasa menyertai hidup dan perasaanku, aku merasa bersamanya saat kuucap do’a dalam sujud tasbihku pada sang Ilahi.
***
Dear Memory at February, 28th 2009
My love
Kisah cinta yang kurasa
Ku tak pernah tahu cinta yang sebenarnya
Enggan ku nyatakan karena ku tak temui sebuah kepastian nyata
Ku sadar
Kaulah idamanku
Senantiasa menemani guliran tasbih do’a dan syukurku
Namun sayang…
Ku terlalu jauh berhayal bisa menjadi milikmu
Yang ku tahu kita beda…jauh beda
Namun entahlah…
Semua perilaku malaikatmu belum tentu adalah hati jiwamu
Karena kau jugalah insan yang tak sempurna
Aku tak mengenalmu!
Robbi…pada-Mu ku berserah
Yang kutahu hanyalah kaulah yang berhak atas semuanya
Tentangku, dia, dan cintaku
Cinta ini telah tumbuh dalam butiran benih ketulusan hati
Gejolak hatiku meluap saat ku mengingatmu
Mengingat untuk memiliki, dimiliki, mencintai, dicintai
Juga saling menyayangi
Bisakah kau hadir bersama dalam hatiku selamanya?
Akankah cintaku aku raih, Robbi ???
Ku serahkan pada-Mu
Ridho-Mulah yang ku cari!
***
Beberapa bulan kemudian
“Yes! Aku lulus!!!....” aku berteriak girang membaca isi amplop putih. Semua siswi SMP Al- Ikhlas sujud syukur di depan tiang bendera halaman sekolah. Tak terasa sudah tiga tahun aku menjalani masa belajarku di sekolah menengah pertama, dan hari ini aku berhasil menyelesaikan dan menerima hasil ujian dengan baik. Dan itu berarti aku harus siap dalam berbagai hal. Baik tanggung jawab yang lebih, ataupun fokus untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Aku meninggalkan sekolahku tercinta dengan tangisan air mata yang tak terbendung. Kucium tangan guru-guruku sebelum pergi. Ku juga sempat membacakan bait puisi selamat tinggal karanganku untuk beliau semua, saat acara perpisahan sebelum hasil amplop diberikan. Aku terasa berat meninggalkan gedung sekolah. Begitu banyak kenangan yang terlewati. Apa boleh buat, aku masih belum selesai menunaikan kewajibanku selanjutnya. Ku menaruh harap untuk sambungan do’a pada guruku semua, kusadar bahwa kita memang berpisah dalam lahir namun batin kita tetap menyatu.
Ku memberanikan diri melangkah untuk meninggalkan semuanya. Ku duduk di sebuah kursi dekat taman tak jauh dari sekolahku. Sambil menunggu Umi’ sama Abi menjemput, kumerenung. Tak kurasa sudah setahun ku bisa menyimpan perasaanku. Waktu yang terbilang cukup lama. Aku tersenyum menyadarinya.
“Assalamualaikum, Nak!” ucapan salam seseorang yang kukenali membangunkanku dari lamunan.
“Waalaikumsalam, Umi’!” jawabku.
“Gimana hasil ujiannya?” umi’ bertanya padaku saat aku mencium telapak tangannya.
“Alhamdulillah umi’. Vira lulus!” sambil kuserahkan amplop hasil ujian pada Umi’.
“Alhamdulillah. Ya sudah kamu siap-siap saja, bawa semua yang harus dibawa pulang! Biar Umi’ yang meminta izin pada Ibu Pengasuh Pesantren. Abi juga sudah menunggu.” Aku hanya menganggukkan kepala menuruti perkataan Umi’. Benar-benar hari yang berwarna. Gembira karena lulus, dan sedih karena berpisah.
Setelah semua keperluan dan persyaratan izin pulang selesai, aku langsung menuju mobil jemputan Abi. Dalam perjalanan aku tetap tak percaya dengan adanya hari ini. Sambil menunggu ujian tes SMA Al- Ikhlas, aku tinggal di rumah. Sungguh membosankan suasana di rumah. Otakku jadi kering gara-gara nggak pernah belajar. Setiap hari itu aja yang dikerjakan, kalau nggak bantu Umi’ ya nonton TV. Suasana jadi sepi nggak bisa ngumpul sama teman-teman.
***
          Sudah seminggu aku di rumah. Dan pagi ini aku akan memulai aktivitas harianku di rumah yang membosankan. Sebel! Nggak boleh jalan-jalan lagi!
Tok…Tok…Tok…”Vira, ada temanmu di ruang tamu.” Panggil Umi’ dari balik pintu kamarku.
“Ya, Mi’! Bilang aku sholat dhuha dulu.” Aku cepat menunaikan sholat dhuha dan memakai jilbab rapi setelah selesai, lalu keluar kamar hendak menemui temanku di ruang tamu depan. Seakan mimpi yang ku alami pagi itu, aku tak percaya dengan seseorang yang datang menemuiku, orang itu sedang ngobrol dengan Abi. Aku tak berkedip melihatnya. Aku tercengang. Itu Ari.
“Ini Vira sudah selesai, Om tinggal dulu ke sekolah ya.” Kata Abi padanya.
“Ya, Om. Terimakasih.” Jawabnya sopan .
Abi meninggalkan kami di ruang tamu. Aku salah tingkah di hadapannya. Tak ada kata yang bisa kuucap. Lidahku terasa terkunci untuk mengatakan sesuatu.
“Assalamualaikum, Vira!” sapanya membuka pembicaraan kami.
“Eh….Waalaikumsalam! Mau minum apa?” jawabku gugup.
“Itu minumanku. Tadi Umi’mu yang buat.” Tuturnya dengan lembut. Aku jadi malu sekali. Kenapa aku bodoh amat! Aku benci pada diriku, karena aku tidak bisa menghilangkan rasa nervousku. Tapi, untung saja dia pandai mencairkan suasana. Ternyata dia orang yang asyik diajak ngobrol. Dia banyak bercerita pengalaman-pengalamannya. Dia juga bilang kalau hampir nyasar mencari rumahku. Kami saling mengenal. Setelah sholat dhuhur dia pamit pulang.
“Lain kali pasti aku kesini.” Katanya sambil mengambil helm di dekat pot bunga depan rumah.
“Ya, ku tunggu, lho!” Jawabku dengan bercanda. ”Nggak pamit sama Umi’?” baru saja aku ngomong seperti itu Umi’ datang dari belakangku.
“Kok, terburu-buru, Ri’?” Tanya Umi’ langsung.
“Ya, Tante. Lain kali pasti saya kesini” jawabnya.
“Hati-hati di jalan!” Aku heran Umi’ kok cepat banget sich akrabnya sama Ari. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Pulang, Ra! Assalamualaikum!” Dia tersenyum manis sekali.
“Waalaikumsalam!” Jawabku bersamaan dengan Umi’. Tak lupa juga kubalas senyumnya dengan senyumku yang paling manis.
***
          Ku pandangi indahnya taman di depan rumah. Malam itu aku sendiri ditemani hembusan angin malam, ku hanya terdiam bisu sambil ku pegang sekuntum mawar merah di tanganku. Ku selonjorkan kaki di atas kursi panjang taman. Malam itu aku mengenakan kaos lengan panjang merah dan celana panjang dengan warna selaras bersama bajuku dipadu jilbab rabbani putih. Ku biarkan wajahku diterpa dinginnya angin malam. Malam yang sepi dari kehadiran siapapun di sisiku.
Tiba-tiba ku dengar lantunan lagu murottal surat Yasiin yang merdu. Ku teringat handphoneku. Ya, itu dering handphoneku. Ku ambil handphoneku di saku celanaku dan ku lihat tampilan nama di layar handphoneku “A. Ari Lovely”. Dengan gemetar ku tekan tombol “Jawab”. Lalu terdengar suara diseberang.
“Assalamualaikum, Ra!” suaranya terasa berat.
“Waalaikumsalam! Ada apa kamu telepon aku?” tanyaku langsung.
“Apa nggak boleh aku telepon kamu? Kamu sibuk, Ra?”
“Oh, nggak kok! Ku bukannya ngelarang, cuma nanya aja. Masa ya nadaku nada ngelarang gitu?” jawabku sempat gugup.
Kita bercakap melalui handphone. Keakraban diantara kita semakin terlihat. Tak ada yang tertutupi dalam kepribadian kita. Lebih-lebih Ari yang sangat terbuka tentang dirinya padaku, sehingga kedekatan kita bertambah. Aku menyukainya, saat aku menceritakan kegelisahanku Ari selalu memberikan nasehat bahkan solusi terhadap masalah-malasah yang aku ceritakan. Dia begitu baik dan menaruh perhatian penuh padaku. Aku bisa merasakan kasih sayangnya. Namun sayang sekali, aku tak pernah tahu kebenaran perasaannya padaku. Percakapan dalam handphone kita akhiri dengan ucapan salam yang lembut. Dan kurasakan keindahan malam yang penuh bunga asmara saat itu.
Seiring dengan berputarnya waktu, kami tidak pernah absen berkomunikasi. Ari juga semakin sering bermain ke rumahku. Entah sekedar berbincang biasa, atau terkadang dia hanya ngobrol dengan Abiku. Perasaan cinta dalam lubuk hatikupun semakin bertambah dan akupun juga bisa merasakan hal yang sama dalam diri Ari. Semua itu terlihat akan ketulusan perhatian yang diberikannya kepadaku.
Dari waktu ke waktu aku simpan perasaanku, tanpa ada seorangpun yang tahu. Akan tetapi hari itu tepatnya Kamis, 04 Maret 2010 semua teka-teki yang tersimpan dalam diriku terjawab. Sore itu…
“Ra, ada suatu hal penting yang ingin aku bicarakan.” Katanya dalam telepon.
“Ada apa? Ngomong sajalah! Kok baru kali ini kamu nggak akan terbuka sama aku.”
“Emm…emm…masalahnya ini sangat serius.”
“Ya AllahRi, kamu nggak percaya aku lagi?”
“Bukan begitu. Emm…aku itu…”
“Kamu ini kenapa sich? Mau ngomong sama aku saja sampai gugup gitu.”
“Aku cinta dan sayang sama kamu, Ra! Itu masalahnya. Masalah yang selalu membuatku resah. Orang yang selalu ku pikirkan adalah kamu. Kamulah insipasiku. aku mengharapkanmu selalu ada untuk aku dan kelak menjadi yang halal untukku.” Ari menghela napas panjang sebelum melanjutkan perkataannya. Sedang aku hanya terdiam. “Aku tidak memaksamu semua keputusan dan jawabanmu akan aku terima dengan ikhlas.”
“Kenapa kamu resah?”
“Aku takut kamu marah karena mencintaimu, itu alasan yang pertama. Dan yang kedua, aku takut kamu menjauhiku.”
“Sejak kapan kau simpan perasaan itu?”
“Sejak pertama kali kita bertemu, aku sudah memiliki perasaan sama kamu. Cuma aku menyimpannya karena temanku sendiri menyukaimu. Aku yakin kamu tahu orangnya. Aku memilih mundur karena gosip yang beredar dan yang aku ketahui kalian saling mencintai. Untuk itu aku memilih diam dan mengalah. Tapi, saat ini aku sadar. Kamulah yang ku lihat berbeda dari yang lain. Inspirasi semangat diriku aku temukan dalam dirimu apalagi saat kita sudah dekat dan saling mengenal. ”
“Oh, Afit maksudmu. Aku tidak penah menyukainya. Aku memang pernah mengenalnya, tapi hanya beberapa waktu. Karena kurasa perilaku dia nggak jauh beda dengan cowok-cowok lain, yang gampang membuat sakit hati wanita.”
“Aku tahu itu. Aku sengaja mencari kebenaran gosip itu. Dan akhirnya ku mengetahui kalau itu hanya gosip belaka. Kamu tidak menyukai Afit, berbeda dengan Afit yang mengharapkanmu.”
“Ri, kalau aku harus jujur, kamu adalah pria yang dulu sangat aku benci. Tapi, sekarang kamu memang pria yang telah berhasil merebut hatiku. Aku juga sayang kamu.”
“Alhamdulillah! Tidak pernah terbayang dalam benakku kita bersatu.”
“Ya…ku hanya titip do’a padamu, kalau memang kita jodoh semoga kita semakin di dekatkan dan hubungan kita untuk selamanya.”
“Itu pasti. Dan jangan lupa terima aku apa adanya!”
“Aku juga.”
Begitulah jawaban dari masing-masing perasaan kami. Aku bersyukur dengan semuanya, juga senantiasa berharap dialah pilihanku yang terbaik. Seorang imam yang ku harapkan, sosok pria idaman yang selalu menemani guliran tasbihku. Juga seseorang yang senantiasa menjadi pendorong semangat untuk citaku. Karena ku punya cita yang merupakan semangat juangku sebagai penerus bangsa. Ku memiliki cinta sebagai pengisi ruang hatiku, dimana ku ingin dialah yang singgah untuk selamanya. Maka akan ku jadikan antara cita dan cintaku sebagai inspirasiku.

created by: Robi'atus Sholihah

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © BEST FRIEND FOREVER "UNEXCTAN" - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -